Friday, January 11, 2008

UUPK & Malapetaka Malapraktik

KALANGAN dokter resah dengan terbitnya Undang-undang Praktik Kedokteran (UUPK) No. 29/2004 yang dianggap dapat menjerat para dokter dengan hukuman kurungan (pidana) jika melakukan pelanggaran, baik pelanggaran administratif maupun malapraktik. Apakah masyarakat juga ikut resah? Semestinya tidak karena UUPK tersebut diantaranya bertujuan memberikan perlindungan kepada pasien, serta memberikan kepastian hukum bagi masyarakat.

Fenomena malapraktik yang sempat marak di media massa, baik cetak, elektronik, maupun internet, belakangan ini membuat kalangan kedokteran seperti kelimpungan. Sebab, berita-berita yang muncul dirasakan menyudutkan kalangan kedokteran. Terlebih sejak munculnya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kesehatan dan berbagai kasus yang diduga malapraktik seperti yang menimpa istri pengacara kondang Hotman Paris Hutapea, Augustianne Sinta Dame Marbun. Wanita itu mengalami kerusakan ginjal karena diduga akibat pemakaian antibiotik dosis tinggi. Sejak itu, Hotman makin gencar membela orang-orang yang dianggap menjadi korban malapraktik, seperti yang menimpa artis Sukma Ayu yang mengalami koma selama berminggu-minggu dan kemudian meninggal dunia.

Sejumlah kasus serupa juga pernah terjadi di wilayah Jawa Barat, khususnya kota Bandung, sehingga seminar atau simposium bertema malapraktik muncul sporadis pada akhir tahun lalu hingga awal 2005. Saat itu, muncul nada pembelaan dari hasil seminar dan simposium tersebut yang justru menuding media pers telah melakukan trial by press juga trial by the public, yang menyebabkan dokter seakan-akan telah divonis bersalah. Kalangan dokter merasa benar-benar dalam keadaan ditekan media pers.

Seperti dikatakan Guru Besar Hukum Kesehatan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan (Unpar) Bandung, Prof. Dr. Willa Chandra Supriadi, S.H., turut sertanya media massa dalam pemberitaan malapraktik, seringkali bahkan memperkeruh keadaan. Hal ini ditambah dengan berdirinya Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kesehatan, yang sebetulnya memiliki tujuan sangat mulia, yaitu ingin membantu pihak yang dirugikan dalam bidang yang berkaitan dengan kesehatan, tapi kadang-kadang bertindak dengan tidak semestinya.

"Seandainya mereka, baik yang membuat berita dan yang menjadi pembela di LBH Kesehatan, semuanya mengerti dan mendalami bidang kesehatan pada umumnya dan kedokteran khususnya, kesimpangsiuran dan kesalahan pemberitaan, dapat diperkecil. Masalahnya, banyak wartawan dan advokad yang berkecimpung di dalam pemberitaan atau pembelaan tentang kesehatan dan kedokteran, tidak memahami atau mengerti tentang kesehatan dan kedokteran," tuturnya.

Pendapat senada juga disampaikan Prof. Dr. dr. Achmad Biben, Sp.O.G.(K). Kata dia, sebetulnya konflik antara dokter dan pasien sudah ada sejak lama. Namun di Indonesia akhir-akhir ini tampak lebih "marak" dengan publikasi media cetak dan elektronik sehingga terbentuklah opini publik. Akibatnya, dokter dalam keadaan ditekan "trial by the public atau trial by the press. Modus operandinya adalah panggilan dari pengacara atau LSM dengan ancaman gugatan perdata, laporan ke polisi, publikasi media cetak (pemberitaan, artikel), media elektronik (dialog interaktif, fitur kriminal).

"Walaupun pada akhirnya belum tentu terbukti adanya malapraktik namun gugatan terhadap dokter tersebut akan menguras tenaga, waktu, biaya, dan nama baik dokter. Tidak terlepas juga nama baik korps dokter dan institusi kesehatan tempat dokter bekerja. Belum lagi peran media massa yang selalu memojokkan profesi dokter dengan pemberitaan yang tidak seimbang, membuat makin carut-marutnya nama dokter dan institusi kesehatan," komentarnya.

Menurut dia, upaya mencegah malapraktik saja tidak cukup. Lebih penting lagi upaya mencegah masyarakat gemar menggugat dokter. Upaya-upaya counter yang bernada membela diri akan lebih membuat terpuruknya citra dokter karena pasien yang menggugat dianggap sebagai pihak teraniaya yang perlu dibela.

Ia berpendapat, counter terhadap isu malapraktik perlu dilakukan dengan cara yang lebih elegan dan sistematis dengan jalan membangun kembali kepercayaan masyarakat melalui sikap dan perilaku profesional agar citra kedokteran sebagai profesi yang luhur dan mulia selalu dapat diterima di hati masyarakat.

Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jabar, dr. Wawang S. Sukarya, Sp.O.G.(K), MARS., mengatakan, diselenggarakannya berbagai seminar atau simposium tentang malapraktik belakangan ini disebabkan banyaknya pemberitaan massa tentang adanya dugaan malapraktik medis yang dilakukan dokter dalam pelayanan kesehatan di beberapa rumah sakit. Dugaan malapraktik ini antara lain terlihat dengan adanya pengaduan tuntutan pidana dan gugatan perdata terhadap kalangan medis dan rumah sakit, sekaligus penghujatan dan penghakiman oleh media massa.

"Dari banyak berita ini, IDI Jabar melihat tuduhan malapraktik medik tersebut terlalu mudah dilontarkan masyarakat bahkan sering tidak tepat. Tentunya hal ini sangat memprihatinkan," ujarnya.

**

DARI segi hukum, seperti pernah diungkapkan Hotman Paris dalam makalahnya ketika seminar di Unpad akhir tahun lalu, adanya UUPK No. 29 Tahun 2004 malah lebih menguntungkan kalangan kedokteran itu sendiri. Isi UUPK tersebut lebih bersifat kolutif dan akan sangat merugikan rakyat (pasien) dan hanya menitikberatkan perlindungan bisnis dari para dokter dan rumah sakit.

Buktinya, kata Hotman, UU tersebut tidak mengatur sanksi kepada dokter yang melakukan tindakan malapraktik dan/atau merugikan rakyat (pasien). Bahkan tidak memuat sama sekali ketentuan malapraktik.

Karena itu, praktisi hukum ini mempertanyakan, kenapa UU mengatur sanksi pidana bagi para pesaing yaitu dokter yang bekerja tanpa surat izin registrasi (izin praktik) dan sanksi pidana bagi dokter asing tanpa izin praktik? Sementara UU tidak mengatur sanksi pidana bagi dokter (punya izin praktik), tetapi melakukan tindakan merugikan rakyat (pasien) dan/atau malapraktik?

Hotman berpendapat, hal ini membuktikan UUPK lebih difokuskan untuk melindungi persaingan bisnis terutama dari dokter asing. Di satu pihak, pasal 3 dari UU menyatakan, tujuan dibuatnya UUPK adalah "Memberikan Kepastian Hukum Kepada Masyarakat", tetapi di pasal berikutnya tidak ada pasal yang mengatur perlindungan dan kepastian hukum bagi masyarakat.

"Memang ada pendapat sembrono yang berpendapat tuntutan ganti rugi korban malapraktik tetap tunduk kepada pasal 1365 KUHP Perdata. Pendapat seperti itu adalah pendapat para sarjana hukum yang tidak mempunyai pengalaman dalam bidang praktik hukum atau hanya mempunyai pengalaman teori hukum," paparnya.

Alasan lain, menurut Hotman, UU tersebut lebih dimaksudkan untuk memberikan "kekebalan" (immunity) dan melindungi para dokter bila melakukan pelanggaran disiplin dan malapraktik agar diadili teman sejawat di Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia. Sebab, "permainan" dan "kolusi" akan lebih menguntungkan dokter apabila diadili teman sejawat dokter. Dengan demikian jika terjadi kasus malapraktik hasil keputusan lembaga tersebut akan dipakai oleh dokter (terlapor) tersebut sebagai bukti di pengadilan perdata untuk menangkis gugatan malapraktik dari si pasien.

"Yang lebih konyol lagi adalah UU tersebut hanya mengatur secara sumir hak dan kewajiban pasien, tetapi UU tersebut sama sekali tidak mengatur apa sanksi apabila hak pasien tersebut dilanggar oleh dokter atau rumah sakit. UU tersebut tidak juga tidak mengatur apa "sanksi" apabila dokter tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana diatur secara sumir di UU tersebut," ungkapnya.

Seperti pula yang sempat disinggung Kudiarto, Presidium Komite Kebijakan Ikatan Senat Mahasiswa Kedokteran Indonesia (ISMKI) dalam artikelnya "Problematika Malapraktik dalam Aspek Medicolegal" (2004), dengan tidak tercantumnya istilah dan definisi menyeluruh tentang malapraktik dalam hukum positif di Indonesia, ambiguitas kelalaian medik dan malapraktik yang berlarut-larut, hingga referensi-referensi tentang malapraktik yang masih dominan diadopsi dari luar negeri yang relevansinya dengan kondisi di Indonesia masih dipertanyakan. Semuanya merupakan PR besar bagi pemerintah. Pemerintah harus secepatnya mengambil tindakan cerdas sebelum masyarakat memberikan stigma negatif pada sistem perundang-undang yang berlaku.

Ia menilai UUPK secara subtansial, lebih memuat pasal-pasal yang implisit dengan teori-teori pembelaan dokter yang umumnya digunakan dalam peradilan. "Masih banyak pasal-pasal krusial dalam UU tersebut misalnya tentang Konsil Kedokteran dan sistem registrasi. Jadi, tampaklah begitu semrawutnya hukum Indonesia, alih-alih ingin menuntaskan problematika malapraktik malah menimbulkan masalah baru. Penanganan problematika malapraktik tidaklah sederhana karena memiliki korelasi dan implikasi yang kuat terhadap aspek-aspek lain," katanya.

Memang sebelum diundangkannya UUPK tersebut, sudah timbul berbagai reaksi. Ketua YPKKI (Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia), dr. Marius Widjajarta mengatakan, masyarakat yang diwakili enam Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) menolak RUU Praktik Kedokteran. Mereka adalah Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Public Interest Research and Advocacy Center (PIRAC), YPKKI, Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), dan LSM Perempuan.

Marius menilai, isi RUU tersebut bisa rancu dan overlap dengan peraturan perundangan yang lain bahkan mencampuradukkan sanksi yang bersifat pidana, perdata, maupun administratif (Media Indonesia, 12/11/2003).

Dalam seminar tentang Hak dan Kewajiban Masyarakat, Dokter dan Rumah Sakit Ditinjau dari Segi Hukum Menyongsong Lahirnya UUPK, yang digelar Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Asosiasi Advokat Indonesia (AAI) Jakarta, beberapa waktu lalu, UU tersebut dinilai lebih banyak melindungi dokter ketimbang hak-hak pasien.

Pakar hukum Universitas Indonesia, Prof. Dr. Harkristuti Harkrisnowo berpendapat, UU tersebut harusnya berorientasi kepada konsumen medis, seperti hak-hak pasien yang harus dipenuhi oleh pemberi jasa dalam hal ini dokter dan paramedis. Tetapi, UU tersebut tidak menyebutkan hak-hak pasien secara terperinci. "RUU tersebut seharusnya lebih menegaskan hak-hak pasien, seperti juga diatur dalam UU Perlindungan Konsumen," ujarnya.

Ketua DPC AAI Jakarta, Humprey Djemat berpendapat, seharusnya ada pasal-pasal pidana dalam UU tersebut, karena bila hanya mengatur masalah malapraktik tanpa ada pasal mengenai pidana, UU tersebut menjadi tidak efektif.

Ketua pendiri LBH Kesehatan, Iskandar Sitorus pun sependapat, UU tersebut hanya akan melindungi dokter, namun mengabaikan hak-hak pasien.

Kembali seperti dikatakan Hotman, kenapa justru para dokter dan rumah sakit (melalui berbagai perkumpulan seperti IDI/Ikatan Dokter Indonesia) justru yang "ngotot" meminta ke DPR agar UU tersebut segera "digolkan"? Karena memang ide pembuatan UU tersebut adalah untuk melindungi para dokter dan rumah sakit bukan untuk melindungi masyarakat.

Perbedaan pendapat antara dokter dengan pengacara tersebut membuat persoalan malapraktik makin sulit dicari penyelesaiannya. Jika pers dianggap sebagai biang malapetaka, karena dianggap tidak memahami ilmu kedokteran oleh kalangan kedokteran, hal ini pun masih perlu dilihat secara bijaksana.

Kalangan pers membuat berita berdasarkan narasumber yang ada, baik dari pasien, dokter ahli, maupun aparat hukum. Kalangan pers pun tidak seenaknya membuat berita karena mereka berpegangan pada "Kode Etik Pers" dan UU Pokok Pers. Ada hukum yang bisa dikenakan bagi kalangan pers yang melanggar kode etik. Artinya, dokter pun bisa menuntut kalangan pers jika melakukan kesalahan.

Kini yang menjadi persoalan, sejauhmana MKEK (Majelis Kehormatan Etika Kedokteran) mampu berdiri dalam posisi yang netral dan independen. Demikian pula IDI mampu menjadi jembatan tidak hanya untuk kepentingan kalangan kedokteran tapi juga mampu memberi apresiasi bagi masyarakat. "Kerahasiaan" yang selama ini selalu terjadi dalam praktik, sudah saatnya tidak lagi terjadi, agar "kecurigaan" tidak tumbuh di masyarakat yang menjadi pasien. Tentunya juga, jangan sampai maraknya kasus-kasus malapraktik membuat kalangan kedokteran merasa teraniaya sehingga muncul sikap defensive medicine). Perlu juga dicermati, sejauhmana UUPK mampu melindungi masyarakat? (Diro Aritonang/"PR")*** Sumber : http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2005/1005/31/teropong/lainnya02.htm

No comments: