Tuesday, July 17, 2007

Kajian Moeslem

Euthanasia bagi orang yang tidak punya harapan sembuh, Seperti orang yang divonis mati karena menderita Kanker stadium lanjut atau AIDS


Disebutkan dalam kitab Fatwa-fatwa Kumpulan Fiqh Islam hasil Kumpulan Muktamar Islam dalam Daurah Muktamar ketiga tahun 1986 sebagai berikut:

Perumpamaan syariat bahwa bagi seorang yang telah mati dan telah dilakukan seluruh aturan syariat yang diwajibkan bagi jenazah atasnya, yaitu setelah jelas salah satu diantara tanda-tanda berikut ini:

1. Jika telah benar-benar berhenti detak jantungnya serta nafasnya dan ilmu kedokteran telah menetapkan bahwa berhentinya tersebut tidak dimungkinkan untuk berdetak lagi.

2. Jika telah berhenti seluruh organ otaknya dari berdenyut dan aturan kedokteran yang spesialis dan berpengalaman telah menetapkan bahwa denyutan tersebut tidak akan berdetak lagi dan boleh diambil otaknya.

Dan dalam kondisi tersebut diperkenankan mengambil bagian-bagian yang hidup yang menempel pada tubuh, walaupun bagian tubuh tersebut seperti jantung misalnya masih bekerja sebagaimana bagian yang berhubungan lainnya. ALLAHU a’lam.

Kesemuanya itu dikarenakan diantara tujuan kesehatan adalah jangan sampai berhentinya detak jantung dan hilangnya nafas sama sekali karena dengan demikian masih memungkinkan untuk dipacu selama jantungnya masih berdetak, tetapi jika jantungnya sudah berhenti berdetak dan diketahui hal tersebut melalui beberapa tanda-tanda seperti hilangnya gerakan dalam mata sama sekali, maka berarti pasien telah benar-benar meninggal. Sekalipun walaupun masih tersisa sedikit gerakan jantung, karena gerakan tersebut akan berakhir pada ketiadaan gerakan sama sekali.

Adapun jika otak belum sepenuhnya mati, maka mengambil bagian dari organ yang segar dari pasien pada kondisi tersebut merupakan pembunuhan atasnya, sebagaimana firman ALLAH SWT:

“Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannnya ialah jahannam, Kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.” (QS. An-Nisa’: 93)

Sekalipun diizinkan oleh pasien untuk mengambil organnya, karena hal tersebut sama dengan membunuhnya pelan-pelan, dan izinnya sama sekali tidak bisa menghalalkan yang haram, dan nyawa pasien tersebut bukan miliknya sehingga membolehkannya memberikannya pada orang lain. Bersabda nabi SAW:

“Ada diantara umat sebelum kalian seorang laki-laki yang terluka parah, sehingga ia tak tahan menahan sakit, maka ia mengambil pisau dan memutuskan urat nadinya, maka tumpahlah darahnya sampai ia mati. Maka berfirman ALLAH SWT: Hamba-KU telah berani mendahului (keputusan) KU, maka AKU haramkan syurga baginya [1].”

Adapun pasien yang telah tidak ada harapan sembuh atau sakitnya divonis mati, juga tidak dibolehkan dibunuh karena alasan untuk mencegah penularan, karena masih ada jalan lain untuk mencegah penularan dan mencegah penularan lebih ringan dari membunuh, seperti dipisahkan atau dikarantina dari orang lain.

(Ringkasan dari kitab Ahsanul Kalam fi Fatawa wal Ahkam, karangan syaikh ‘Athiyyah Shaqr Ketua Lajnah Fatawa al-Azhar, jilid-11).

REFERENSI:

[1] Dikeluarkan oleh al-Bukhari dan Muslim

Al-Ikhwan.net

No comments: